Yang Penting Parti, Yang Penting Aktif

Ketakutan Akan Masa Depan Perencanaan Partisipatif

Fahmi
5 min readDec 1, 2018

Telah sampailah saya di Bandung, kota yang menurut saya terlalu sejuk untuk memikirkan hal-hal aneh yang berkecamuk di kepala.

Semua kecamuk ini sejatinya adalah bentuk oleh-oleh dari Jakarta. Ya, saya yang kembali pulang ke Jakarta (rumah) bukan hanya untuk mengisi liburan semester, tetapi lebih berharga dari itu, saya diberi kesempatan untuk melihat dan juga belajar akan perkembangan peradaban kota yang saya cintai.

Cukup mudah kiranya menggambarkan peradaban Jakarta secara umum, mungkin sederhananya dalam satu jargon: ‘Jakarta keras bos!’ . Jargon tersebut adalah bentuk representatif kota yang tanpa kompromi, individualis, plus bengis. Tetapi kali ini saya dipertemukan dengan antitesis peradaban Jakarta pada umumnya; partisipatif.

Saya dipertemukan sekaligus diberi kesempatan untuk mempelajar antitesis tersebut di salah satu kantor studi perkotaan, yang lokasinya sepelempar batu dari Masjid Cut Meutia yang dahulunya difungsikan sebagai gedung konsultan Arsitektur dan pengembang perkotaan era kolonial.

Nama kantornya adalah Rujak Center For Urban Studies, sekitar tiga bulan saya belajar secara intens tentang studi perkotaan khususnya perencanaan partisipatif. Tidak hanya belajar, saya pun dihadapkan langsung dengan lokasi pengejawantahan, lokasi tersebut berada di utara Jakarta, Kampung Akuarium yang penuh romansa. Kampung yang mencoba bangkit setelah porak poranda akibat bengisnya Jakarta, kali ini mereka mencoba bangkit dengan cara menerapkan perencanaan partisipatif.

Puncaknya, saat adanya acara International field school, yang melibatkan multi disiplin ilmu; Planologi, Arsitektur, Geografi, Sosiologi, Desain Interior, dan tentunya orang yang paling faham tentang Kampung Akuarium, yaitu masyarakat lokalnya sendiri. Selama tujuh hari setelah rangkaian diskusi, kita bersama merencanakan pembangunan dengan situasi yang sangat egaliter, saling belajar, dan saling mengisi. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah bentuk rekomendasi perencanaan untuk Pemprov DKI yang berjanji akan menata ulang puing yang telah porak poranda.

Dokumentasi kegiatan perencanaan partisipatif yang dilakukan oleh tenaga ahli Rujak RCUS & mahasiswa Arsitektur Kyoto University bersama warga Kampung Akuarium, hasil akhir perencanaan akan digunakan sebagai rekomendasi untuk Pemprov DKI Jakarta dalam penyediaan hunian rakyat.

Setelah menjabarkan kisah romantis tadi, saya teringat kata-kata Neto dalam film Narcos.

Polisi: “Pak, apakah anda baik-baik saja?”

Neto: “Memangnya ada? yang baik-baik saja di dunia ini?”

Tentu, saya percaya akan adanya mimpi buruk, pun begitu tentang masa depan perencanaan partisipatif ini. Apakah akan baik-baik saja? yang saya tau jernihnya oase akan tetap keruh oleh pola manusia.

Oase Itu Bernama Partisipatif

Sebelum kita membayangkan keadaan yang antinomi, terlebih dahulu lebih etis untuk menguliti perencanaan partisipatif secara eksplisit.

Laksana petir di siang bolong, kini, perencanaan partisipatif mulai dijadikan formula tandingan dalam perencanaan pembangunan, tidak kunjung optimalnya pembangunan teknokratik (top-down) mungkin menjadi salah satu alasan makin menguatnya ‘style’ partisipatif ini.

Tentu ini bukan barang baru dalam kancah perencanaan, para ilmuan terdahulu sudah membahas cara ini sebagai solusi untuk menghamburkan keadilan dan kemakmuran pada semua lapisan dalam konteks perencanaan.

Perencanaan partisipatif sangat erat hubungannya dengan konsep rasionalitas komunikatif yang digalakan Habermas. Menurut Habermas (1979) Rasionalitas komunikatif sepenuhnya dikembangkan melalui dialog, dalam percakapan ideal pada keadaan tanpa dominasi, sebagai satu-satunya kekuatan untuk menghasilkan kehendak yang berasal dari suatu penjelasan yang sahih, Semua pihak yang terlibat menghindari dorongan lain, kecuali keinginan bersama untuk mencapai kesepakatan pada kepentingan yang dipertimbangkan umum bagi semua elemen terkait. Dialog tersebut suatu komunitas dapat secara rasional memperoleh tujuan-tujuan yang diinginkan bersama.

Perencanaan partisipatif ini diharapkan dapat mencapai keberhasilan yang lebih luas dalam perencanaan pembangunan, seperti aspek sosial, ekonomi secara meluas dan merata, juga bisa mempersempit ancaman kerusakan lingkungan.

Semuanya terdengar mulia, bukan? tapi nanti dulu, bagian antinomi baru akan dimulai.

Semoga Ini Hanya Mimpi Buruk

Dalam sadar, saya adalah orang yang sangat mendukung pendekatan partisipatif ini terus dikembangkan.

Namun, sejatinya manusia, sejatinya proses, tidak akan ada yang berjalan mulus, seyogianya kita harus memiliki rasa mewawas yang cukup untuk meminimalisir dampak buruk yang akan datang. Demikian juga dengan proses perencanaan partisipatif ini.

Saya simpulkan, menurut saya, proses partisipatif ini adalah bentuk pengelolaan sosial yang melibatkan seluruh lapisan untuk menghindari sifat eksploitasi yang bisa menguntungkan satu pihak dan merugikan banyak pihak lain; ketidakadilan. Walau sepenglihatan saya sejauh ini, perencanaan partisipatif belum mencapai klimaks dalam pencapaian, dan juga belum menemukan formula yang absah untuk penerapannya, ‘style’ partisipatif ini makin hari makin digandrungi khalayak, saya menyebutnya: “fenomena apa-apa partisipatif”.

Lalu, lahirlah ketakutan-ketakuan akan masa depan perencanaan partisipatif ini.

Poin pertama ketakutan saya adalah, dengan makin masifnya embel-embel partisipatif kita terlena dan secara tidak sadar akan membuat program ini menjadi komoditas pasar, esensinya bisa saja luntur atau terdegradasi karena pengaplikasiannya yang tidak mendalam. “Asal ada praktisi + masyarakat aktif, jadi deh, partsisipatif”. Padahal menurut de Roux fokus utama Participatory Planning bukan menghasilkan suatu rencana, tetapi menciptakan ruang dialog antara berbagai pelaku dengan berbagai harapan, persepsi dan interpretasi berkenaan dengan persoalan dan isu yang diungkapkan dan dirundingkan. Proses sosial dimana masyarakat perlu ikut serta untuk memudahkan analisis kolektif tentang persoalan masyarakat dan mencapai prioritas berdasarkan kesepakatan yang rumit dan tidak pasti. Perencanaan perlu difahami sebagai bersifat berhati-hati, iteratif, dan fleksibel. Perencanaan juga menawarkan suatu kesempatan unik bagi teknisi dan anggota masyarakat untuk berinteraksi dan menghubungkan pengetahuan (de Roux, dalam Nieras, 2002).

Poin kedua, lanjutannya yang paling saya risaukan adalah, alih-alih untuk mempersempit eksploitasi, mungkin saja perencanaan partisipatif ini nantinya dijadikan bentuk kamuflase, yang secara halus sebenarnya tetap mengeksploitasi, semua ini mungkin terjadi jika luntur dan terdegradasinya esensi yang saya khawatirkan tadi.

Sejatinya ini adalah bentuk refleksi untuk diri sendiri, dan, sumpah mati tulisan ini tidak sedikitpun ditujukan untuk mendiskreditkan orang-orang yang sedang bergerilya mewujudkan perencanaan yang adil dan humanis lewat perencanaan partisipatif.

Angan saya, kita semua mesti menjadi pengawal dan pengkritik secara konstruktif tentang perencanaan partisipatif ini, tujuannya agar oase ini tetap jernih, tidak keruh, tidak berbau. Buka pintu seluas-luasnya untuk saling belajar, buka mata seluas luasnya untuk menghadapi muslihat “Bung Besar” yang akan tetap mengintai.

Terakhir, sebagai penutup, kalimat ini adalah kalimat yang selalu saya yakini, bahwasanya kita tetap memiliki harapan untuk tetap bisa merencanakan pembangunan secara adil dan bermanfaat untuk semua lapisan masyarakat.

…….”bahwasanya setiap manusia adalah planolog versi dirinya masing-masing”……

Referensi

Sawitri, Dewi (2006). Profesi Perencana Dalam Perencanaan Partisipatif Suatu Kajian Teori Dan Praktek Perencanaan. Jurnal Sosial dan Pembangunan, 22(1), 15–32.

--

--

Fahmi
Fahmi

Written by Fahmi

Concerned cities&citizens.

No responses yet